Hak Allah dan Hak Hamba Pada Masa Pandemi



حقوق العباد مقدمة على حقوق الرب عند تزاحم الحقوق
(الشيخ محمد نووي البنتاني، تفسير مراح لبيد)

Jika Anda sedang salat, tiba-tiba seekor ular berbisa datang menghampiri tempat salat, bolehkah Anda menghentikan salat? Jawabannya tentu saja boleh, demi menyelamatkan diri dari marabahaya.
Atau ketika Anda salat di Masjid dalam sebuah perjalanan, tiba-tiba seseorang yang tidak dikenal mengambil tas Anda yang tergeletak di ujung sajadah. Anda boleh menghentikan salat demi menyelamatkan benda milik Anda.
Salat adalah ibadah yang termasuk kategori hak Allah (huququlloh), sedangkan memperoleh keamanan diri dan keutuhan harta adalah hak manusia (huququl ibad). Ketika kita dihadapkan pada kondisi-kondisi yang mengancam seperti di atas, kita boleh mendahulukan huququl ibad atas huququlloh.
Pembahasan tentang kedua hak ini dapat kita temukan dalam karya-karya besar para fuqaha terdahulu. Syekh Nawawi al Bantani (w 1897 M) dalam tafsir Marah Labid-nya mengatakan, Huququl ibad muqaddamah 'ala huquqillah 'inda tazahum al huquq. Hak-hak manusia dapat didahulukan atas hak-hak Allah, pada saat terjadi tarik menarik kepentingan antara keduanya.
Jauh sebelum Syekh Nawawi, Imam Syatibi (w 790 H), ulama terkemuka dari kalangan Malikiyah membahas tema ini secara panjang lebar dalam magnum opus-nya, al Muwafaqat. Syatibi menegaskan bahwa hak-hak Allah itu lebih agung daripada hak-hak hamba, akan tetapi ia dapat ditolerir ketika seseorang sedang dihadapkan pada hak dirinya. Toleransi ini, kata Syatibi, adalah wujud keringanan (rukhsah) dan keluwesan (tausi'ah) dalam agama.
Dari kalangan fuqaha Syafiiyah, ada Syekh Izzudin ibn Abdissalam (w 660 H), yang memaparkan lebih detail persoalan ini dalam karyanya, Qawaid al Ahkam fi Mashalih al Anam. Izzudin mengatakan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu, hak-hak manusia dapat didahulukan atas hak-hak Allah, "sebagai bentuk kasih sayang Allah untuk kebaikan duniawi manusia". Umpamanya kebolehan seseorang mengaku kafir (al talaffudz bi kalimat al kufr inda al ikroh) ketika ia dihadapkan pada ancaman yang membahayakan jiwa. Hal itu, kata Izzudin, "demi menyelamatkan jiwa raga, supaya seseorang tetap bisa menjalankan perbuatan ketaatan dan ibadat-ibadat lain pada kesempatan berikutnya".
Banyak contoh lain yang disebutkan Izzudin, di antaranya al a'dzar al mujawwizah li tark al jumu'at wa al jama'at wa al jihad, yakni kebolehan meninggalkan shalat Jumat, shalat jemaah dan juga jihad, karena ada alasan-alasan yang dibenarkan. Benang merah dari semua contoh itu, bahwa mengimani Allah adalah hak Allah, sehingga wajib dipenuhi oleh seorang hamba. Tetapi menjaga keselamatan diri adalah hak manusia yang harus diusahakan sebisa mungkin, yang dalam kondisi tertentu dapat saja mengalahkan hak Allah.
Pemahaman tentang hak-hak Allah dan hak-hak manusia, serta bagaimana memosisikannya ketika keduanya sedang berhadapan, semakin menemukan relevansinya ketika kita saat ini sedang menghadapi ujian hidup bernama wabah Covid-19. Kita yakin bahwa agama hadir untuk memberikan solusi bagi persoalan-persoalan kemanusiaan. Maka di sinilah kita harus jernih membaca fakta kehidupan di satu sisi, serta ruh syariat di sisi lain, agar mampu "menemukan" solusi-solusi yang diberikan agama itu.
Hukum kebolehan shalat Jumat yang diganti dengan dzuhur di rumah masing-masing - sebagaimana fatwa MUI yang kemudian dijadikan kebijakan resmi pemerintah di kawasan zona merah - adalah contoh konkrit dari teori huququl ibad vs huququllah di era pandemi ini. Selain fatwa tentang peniadaan sementara beberapa ritual keagamaan, demi menghindari potensi bahaya wabah.
Karena itu, konsep tentang hak-hak Allah vs hak-hak manusia ini, menambah deretan argumentasi teologis yang menguatkan pentingnya kewaspadaan kita dalam menghadapi wabah yang bahayanya sudah jelas ini. Selain kaidah "menghindari bahaya harus didahulukan atas mewujudkann kemaslahatan", atau teori mendahulukan hifdz al nafs atas hifdz al din yang sering kita dengar sebelumnya.
Semua ini seharusnya semakin meyakinkan kita, bahwa kebijakan yang diambil oleh para pemimpin dan para ulama di negara-negara Muslim termasuk Indonesia dalam menghadapi wabah ini, benar-benar memiliki argumen teologis yang dapat dipertanggungjawabkan. Benar bahwa sebagai sebuah produk ijtihad, kemungkinan keliru pada kebijakan-kebijakan di atas memang selalu ada. Maklum, kita semua bukan Nabi. Sebagaimana kata Imam Malik (w 179 H) ketika ia sedang berziarah ke makam Nabi, "Setiap ucapan kita, memiliki potensi diterima atau ditolak, kecuali ucapan sosok yang ada di makam ini". Akan tetapi relativitas kebenaran hasil ijtihad ini bukanlah alasan kita untuk tidak patuh terhadap protokol resmi yang telah ditetapkan, atau bersikap ngeyel, memolitisir, apalagi menuduh yang bukan-bukan kepada para ulama dan para pemimpin kita, sebagaimana kadang kita temukan dalam beberapa postingan liar di media sosial.
Kini saatnya kita saling mengingatkan dan menguatkan satu sama lain, bukan saling melemahkan atau menyalahkan. Kebersamaan dan optimisme yang dibalut kesabaran, adalah modal awal kita untuk bisa lepas dari derita ini. Bukankah kita semua ingin wabah ini segera berlalu?

Dr.H.Dede Ahmad Permana, MA

Comments