Fatwa MUI 2023

FATWA UNTUK KEMANUSIAAN

Belum lama ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa no 83 tahun 2023 tentang hukum dukungan terhadap perjuangan Palestina. Di antara isi fatwa ini adalah “Mendukung agresi Israel ke Palestina atau pihak yang mendukung Israel baik langsung maupun tidak langsung, hukumnya haram”. Melalui fatwa ini pula, umat Islam diimbau untuk semaksimal mungkin menghindari transaksi dan penggunaan produk yang berafiliasi dengan Israel serta yang mendukung penjajahan dan zionisme.

Fatwa ini mengingatkan penulis pada fatwa Syekh Izzudin ibn Abdissalam, seorang ulama besar abad ke-12 Masehi di kota Damaskus. Fatwa Syekh Izzudin itu berbunyi, “Haram hukumnya kalian menjual senjata kepada kaum Salib karena kalian tahu bahwa mereka akan menggunakan senjata itu untuk menyerang saudara-saudara kalian, sesama umat Islam di negeri Mesir”.

Fatwa ini disampaikan Syekh Izzudin dalam rangka merespon pertanyaan para pandai besi di kota Damaskus tentang hukum menjual senjata kepada para tentara Salib. Para tentara Salib transit di Damaskus selama beberapa saat sebelum melakukan invasi ke Mesir. Saat transit itulah, banyak dari mereka yang memesan pedang dan tombak kepada para pandai besi di kota Damaskus.

Para pandai besi itu merasakan dilema berat. Di satu sisi, mereka merasa senang karena produk mereka terjual dan menghasilkan uang. Namun di sisi lain, mereka tahu betul bahwa pedang dan tombak yang mereka buat itu akan digunakan oleh pembeli untuk memerangi umat Islam di negeri Mesir

Apa relevansi fatwa Syekh Izzudin ini dengan fatwa MUI di atas? Kedua fatwa ini sama-sama didasarkan pada konsep bahwa kehalalan atau keharaman transaksi jual beli dalam Islam tak hanya ditentukan oleh lengkap atau tidaknya rukun dan syaratnya saja, melainkan juga ditentukan oleh dampak yang akan terjadi dari transaksi itu. Sebuah transaksi yang memenuhi rukun dan syarat – misalnya ditandai dengan adanya penjual dan pembeli yang sudah balig dan berakal sehat, adanya akad serah terima, benda yang diperjualbelikan juga bukan benda najis -  namun diyakini akan mengakibatkan terjadinya suatu keburukan atau bahaya di kemudian hari, maka transaksi itu bisa menjadi terlarang.

Secara fikih, transaksi jual beli senjata antara para pandai besi Damaskus dengan para tentara Salib itu dikategorikan sah karena memenuhi rukun dan syarat jual beli. Akan tetapi, ketika diketahui bahwa senjata itu akan digunakan pembeli untuk membunuh orang lain, maka transaksi jual beli itu menjadi terlarang.

Transaksi dan penggunaan produk-produk yang berafiliasi dengan Israel sebagaimana diwanti-wanti MUI dalam fatwa di atas juga demikian. Secara formal, transaksinya memang sah. Akan tetapi ia menjadi bernilai dosa karena pembeli tahu betul bahwa sebagian keuntungan yang diperoleh penjual akan disalurkan  kepada pihak yang saat ini sedang melakukan kejahatan perang.

Sama halnya dengan seseorang yang menyewakan rumah kepada seseorang yang lain, dan ketika ia tahu bahwa rumahnya itu akan digunakan penyewa untuk keperluan yang melanggar hukum atau kemaksiatan, maka transaksi sewa menyewa itu menjadi bernilai dosa.

Hal ini sejalan dengan kaidah fikih yang menyebutkan bahwa sebuah perkara mubah atau suatu kebaikan sekalipun, yang jika dilakukan malah akan mendorong terjadinya keburukan atau bahaya, maka perkara mubah atau kebaikan itu justru menjadi terlarang atau bernilai dosa. Dalam karyanya yang berjudul Qawaidul Ahkam fi Mashalih al Anam, Syekh Izzudin mengatakan, “Rubbama kanat asbab al mafasid mashalih, fanaha as syar’u ‘anha laa likauniha mashalih, bal li adaiha ila al mafasid”. Artinya, bisa saja penyebab terjadinya sebuah bahaya adalah sebuah perbuatan kebaikan (mashalih). Kemudian agama melarang perbuatan kebaikan itu bukan karena ia adalah sebuah kebaikan, tetapi karena dampak yang akan ditimbulkannya yaitu sebuah keburukan (mafasid).

Dalam ungkapan yang lain, jalan menuju sesuatu, sama hukumnya dengan sesuatu yang dituju. Li al Wasail Hukm al Maqasid. Jalan atau sarana menuju kebaikan, sama nilai pahalanya dengan kebaikan yang dituju. Demikian juga jalan atau sarana yang mendukung suatu keburukan, sama dosanya dengan keburukan yang dituju.

Alquran juga memerintahkan kita agar saling menolong dalam kebaikan dan takwa, dan melarang kita melakukan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Membelanjakan uang pada produk-produk yang terbukti berafiliasi dengan Israel saat ini, terancam masuk kategori tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan itu.

Inilah salah satu metodologi berfikir dalam hukum Islam. Halal dan haram tak hanya dilihat dan ditentukan berdasarkan fakta-fakta yang tersurat semata, melainkan juga dari nilai-nilai yang tersirat. Inilah fatwa yang hidup dan dinamis, tak sekedar menyatakan “pokoknya halal” atau “pokoknya haram”, melainkan didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan. Dan kedua fatwa di atas pun dibuat untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan itu.  

Darul Iman, 28 Nopember 2023

Dede Ahmad Permana (Pimpinan Pondok Pesantren Terpadu Darul Iman / Sekretaris Komisi Fatwa MUI Kab Pandeglang) 

Comments